Minggu, 22 Desember 2013

Tugas III ISD


TUGAS III ISD
BAB  VII
MASYARAKAT PERKOTAAN DAN PEDESAAN

A.    PENGERTIAN MASYARAKAT

Masyarakat dalam arti luas merupakan keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Masyarakat dalam arti sempit yaitu sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu misalnya teritorial, bangsa, golongan dsb.
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat harus mempunyai syarat- syarat seperti :
·         Harus ada pengumpulan manusia
·         Telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu
·         Adanya aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.

Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :
·         Masyarakat paksaan : negara, tawanan
·         Masyarakat merdeka

ü  masyarakat natur, masyarakat yang terjadi dengan sendirinya seperti gerombolan (horde), suku (stam) yang bertalian karena hubungan darah.
ü  masyarakat kultur, masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, contoh koperasi, kongsi perekonomian, gereja dsb.

B.     MASYARAKAT PERKOTAAN

Masyarakat perkotaan sering disebut juga sebagai urban community, pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada  sifat-sifat kehidupan seta ciri-ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
1.      Kehidupan keagaamaan kurang apabila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di pedesaan
2.      Pada umumnya orang kota mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Kehidupan keluarga dikota sukar untuk disatukan karena perbedaan kepentingan, agama, paham politik dsb.
3.      Pembagian kerja dalam masyarakat kota jauh lebih tegas dan mempunyai batas-batas nyata.
4.      Kemungkinan mendapatkan pekerjaan lebih banyak diperoleh.
5.      Jalan pikiran yang rasional, menyebabkan interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada kepentingan daripada faktor pribadi.
6.      Jalan kehidupan yang cepat di kota menyebabkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota.
7.      Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata sebab kota lebih terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

Perbedaan desa dengan kota

Dalam menentukan suatu masyarakat sebagai kota atau desa dapat dilihat dari ciri-cirinya seperti :
1.      Jumlah kepadatan peduduk, kota memiliki penduduk yang lebih banyak daripada desa.
2.      Lingkungan hidup di pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas, lingkungan perkotaan sebagian besar dilapisi beton dan aspal.
3.      Mata pencaharian masyarakat desa berada pada sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris, sedangkan kota sektor ekonomi sekunder yaitu industri, dan ekonomi tersier yaitu bidang pelayanan jasa.
4.      Corak kehidupan sosial di desa masih homogen, sebaliknya di kota sangat heterogen karena disana saling bertemu suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memliki kepentingan berlainan.
5.      Stratifikasi sosial di kota jauh lebih komplek dibanding desa. Misalnya mereka yang memiliki keahlian pekerjaan yang memerlukan banyak pemikiran memiliki kedudukan dan upah yang tinggi dibanding tenaga kasar. Hal ini berakibat perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin.
6.      Mobilitas sosial di kota jauh lebih tinggi dibanding desa, baik secara vertikal yaitu perpindahan kedudukan yang lebih tinggi atau rendah, maupun perpindahan kedudukan yang setingkat atau horizontal.
7.      Pola interaksi pada masyarakat pedesaan adalah motif-motif sosial, dalam interaksi sosial selalu diusahakan agar kesatuan sosial tidak terganggu, konflik atau pertentangan sosial sebisa mungkin dihindarkan. Sebaliknya pada masyarakat perkotaan dalam interaksi lebih  dipengaruhi oleh ekonomi daripada motif sosial. Selain itu juga motif non sosial seperti politik, pendidikan.
8.      Solidaritas sosial di desa lebih tinggi dibanding kota
9.      Sedangkan dalam hirarki sistem administrasi nasional kedudukan kota lebih tinggi daripada desa, semakin tinggi kedudukan suatu kota dalam hirarki tersebut maka kompleksitasnya semakin meningkat/ makin banyak kegiatan disana.

C.     MASYARAKAT PEDESAAN

PENGERTIAN PEDESAAN/DESA

Menurut Sutarjo Kartohadikusuma adalah satu  kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan sendiri. Menurut bintarto, desa merupakan perwujudan kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan cultural yang terdapat di suatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sedangkan menurut Paul H. Landis desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri :
·         Mempunyai pergaulan hidup yang saling mengenal antara rbuan jiwa
·         Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
·         Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris, yang dipengaruhi oleh iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedang pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sampingan.
Secara umum yang menjadi ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain :
·         Antara warga mempunyai hubungan yang mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat di luar batas-batas wilayahnya
·         Sistem kehidpan umumnya berkelompok denagan dasar kekeluargaan (gemeinscharft atau paguyuban)
·         Sebagian warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian, pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan part time sebagai pengisi waktu luang.
·         Masyarakat homogen seperti dalam mata pencaharian, agama, adat istiadat dsb.

Hakikat dan Sifat Masyarakat Pedesaan

Masyarakat desa yang agraris dipandang sebagai masyarakat yang tenang, hal itu terjadi karena sifat keguyuban/ gemeinscharft sehingga oleh orang kota dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah.
Tetapi dalam masyarakat desa terdapat pula perbedaan pendapat atau paham yang menyebabkan ketegangan sosial, yaitu :
1.      Konflik/ pertengkaran, pertengkaran biasanya berkisar masalah sehari-hari/ rumah tangga juga pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan dsb.
2.      Kontroversi/ pertentangan, disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan/ adat istiadat, psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna/ black magic.
3.      Kompetisi/ persaingan, dapat besifat positif maupun negatif. Positif bila wujudnya saling meningkatkan prestasi dan produksi, negatif bila berhenti pada sifat iri.

Kegiatan Pada  Masyarakat Pedesaan

Masyarakat pedesaan mempunyai penilain yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain. Jadi masyarakat pedesaan bukan masyarakat yang senang diam tanpa aktivitas. Pada umumnya masyarakat desa sudah bekerja dengan keras tetapi para ahli lebih memberikan perangsang yang dapat menarik aktivitas masyarakat pedesaan, dan menjaga agar cara dan irama bekerja bisa efektif dan efisien serta kontinyu (diusahakan mengisi waktu-waktu kosong bekerja karena keadaan musim/ iklim di indonesia)

Sistem Nilai dan Budaya Petani Indonesia

Sistem nilai budaya petani Indonesia antara lain sebagai berikut :
1.      Petani Indonesia terutama di Jawa menganggap kehidupan adalah hal yang buruk dan kesengsaraan sehingga mereka berlaku prihatin dan berusaha dan ikhtiar.
2.      Mereka beranggapan bahwa orang bekerja untuk hidup dan kadang-kadang mencapai kedudukan.
3.      Mereka beorientasi pada masa sekarang, kurang mempedulikan masa depan.
4.      Mereka menanggap alam tidak menakutkan, bila ada bencana hanya merupakan sesuatu yang wajib diterima. Mereka cukup menyesuaikan diri dengan alam dan kurang usaha untuk menguasainya.
5.      Untuk menghadapi alam mereka cukup dengan bergotong-royong, mereka sadar bahwa dalam hidup pada hakikatnya tergantung pada sesama.

D.    ASPEK POSITIF DAN NEGATIF

Untuk menunjang aktivitas serta memberikan suasana aman, tenteram, nyaman, bagi warganya, kota diharuskan menyediakan fasilitas kehidupan dan mengatasi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat warganya.Suatu lingkungan perkotaan seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi :
·         Wisma, mengembangakan daerah perumahan sesuai dengan pertambahan penduduk serta memperbaiki lingkungan perumahan yang telah ada.
·         Karya, yaitu penyediaan lapangan kerja. Dapat dilakukan dengan enyediaan ruang untuk kegiatan perindustrian, perdagangan, pelabuhan, terminal serta kegiatan lain.
·         Marga, unsur ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi untuk menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat lain dalam kota atau dengan kota-kota daerah lainnya. Dalam unsur ini termasuk :

Pengembangan jaringan jalan dan fasilitasnya ( terminal, parkir dll)- Pengembangan jaringan telekomunikasi sebagai bagian dari sistem transportasi dan komunikasi kota.
·         Memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas hiburan, rekreasi, pertamanan, kebudayaan dan kesenian.
·         Penyempurnaan yaitu unsur yang merupakan bagian penting bagi kota, termasuk fasilitas keagamaan, perkuburan kota, fasilitas pendidikan dan kesehatan, jaringan utilitas/ keperluan umum.

Kelima unsur pokok ini merupakan pola pokok dari komponen-komponen perkotaan yang kauantitas dan kualitasnya kemudian dirinci dalam perencanaan suatu kota. Kebijaksanaan perencanaan dan pengembangan kota harus dapat dalam kerangka pendekatan yang luas yaitu pendekatan regional. Rumusan pengembangan kota seperti itu tergambar dalam pendekatan penanganan masalah kota sebagai berikut :
a.       Menekan angka kelahiran
b.      Mengalihkan pusar pembangunan pabrik/industri ke pinggir kota\
c.       Membendung urbanisasi
d.      Membangun kota satelit
e.       Meningkatkan fungsi dan peranan kota-kota kecil atau desa-desa yang telah ada disekitar kota besar
f.       Transmigrasi bagi warga yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan
E.     HUBUNGAN ANTARA MASYARAKAT PERKOTAAN DAN PEDESAAN

Masyarakat pedesaan dan perkotaan adalah dua komunitas yang saling membutuhkan. Di antara keduanya terdapat hubungan yang erat dan bersifat ketergantungan karena keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Masyarakat kota bergantung pada masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhannya akan bahan – bahan pangan seperti beras, sayur- mayur, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga pekerja kasar bagi jenis - jenis pekerjaan tertentu yang dibutuhkan untuk bekerja di kota. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam, mereka sibuk bekerja di sawah dan selagi menunggu masa panen, mereka mencari pekerjaan lain untuk mencari tambahan penghasilan.
Sebaliknya, masyarakat kota menghasilkan barang-barang yang diperlukan juga oleh masyarakat yang berada di desa seperti pakaian, alat elektronik, obat-obatan, dan lain sebagainya. Di kota juga tersedia tenaga kerja yang siap melayani dalam bidang jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat desa, misalnya saja tenaga – tenaga di bidang medis atau kesehatan, permesinan, elektronika dan alat transportasi. Serta tenaga yang mampu memberikan bimbingan dalam upaya peningkatan hasil budi daya pertanian, peternakan ataupun perikanan darat.

F.      PERBEDAAN MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT PERKOTAAN

Masyarakat pedesaan kehidupannya berbeda dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan-perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan yang mendasar dari keadaan lingkungan, yang mengakibatkan adanya dampak terhadap personalitas dan segi-segi kehidupan. Untuk menjelaskan perbedaan atau ciri-ciri dari kedua masyarakat tersebut dapat ditelusuri dalam hal sebagai berikut:
1.      Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam
Masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografisnya di daerah desa. Mereka sulit “mengontrol” kenyataan alam yang dihadapinya, padahal bagi petani realitas alam ini sangat vital dalam menunjang kehidupannya.
2.      Pekerjaan atau Mata Pencaharian
Pada umumnya mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani. Mata pencaharian berdagan merupakan mata pencaharian sekunder. Sedangkan di masyarakat kota, mata pencaharian cenderung ,menjadi terspesialisasi, dan spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan.
3.      Ukuran Komunitas
Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
4.      Kepadatan Penduduk
Penduduk desa kepadatan penduduknya lebih rendah dibandingkan dengan kepadatan penduduk perkotaan.
5.      Homogenitas dan Heterogenitas
Homogenitas atau persamaan dalam ciri-ciri social dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku sering nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya, penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur, kesenangan, kebudayaan dan mata pencaharian.
6.      Diferensiasi Sosial
Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi social. Kenyataan ini bertentangan dengan bagian-bagian kehidupan di masyarakat pedesaan.
7.      Pelapisan Sosial
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” antara masyarakat kota dan masyarakat desa, namun di sini saya akan memberikan satu contoh saja, yaitu pada masyarakat desa, kesenjangan (gap) antara kelas eksterm dalam piramida sosial tidak terlalu besar, sedangkan pada masyarakat kota jarak antara kelas eksterm yang kaya dan miskin cukup besar.
8.      Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial berkaitan dengan perpindahan atau pergerakkan suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya, terjadinya peristiwa mobilitas sosial demikian disebabkan oleh penduduk kota yang heterogen. Dengan demikian, maka mobilitas sering terjadi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan.
9.      Interaksi Sosial
Tipe interaksi sosial di kota dengan di desa perbedaannya sangat kontras, baik aspek kualitasnya maupun kuantitasnya.
10.  Pengawasan Sosial
Tekanan sosial oleh masyarakat di pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat pribadi dan ramah tamah (informal). Di kota pengawasan sosial lebih bersifat formal, pribadi, kurang “terkena” aturan yang ditegakkan.
11.  Pola Kepemimpinan
Menentukan kepemimpinan di pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu dibandingkan dengan kota.
12.  Standar Kehidupan
Di kota, dengan konsentrasi dan jumlah penduduk yang padat, tersedia dan ada kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan dan fasilitas-fasilitas yang membahagiakan kehidupan, sedangkan di desa terkadang tidak demikian.
13.  Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan sosial atau kesatuan dan kepaduan pada masyarakat pedesaan merupakan akibat dari sifat-sifat yang sama, persamaan dalam pengalaman, tujuan yang sama, di mana bagian dari masyarakat pedesaan hubungan pribadinya bersifat informal dan tidak bersifat kontrak sosial (perjanjian).
14.  Nilai dan Sistem Nilai
Nilai dan system nilai di desa dengan di kota berbeda, dan dapat diamati dalam kebiasaan, cara, dan norma yang berlaku. Pada masyarakat pedesaan, misalnya mengenai nilai-nilai keluarga masih berperan. Dalam hal ini masyarakat kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan sistem nilai desa.

Perbedaan desa dengan kota
Dalam menentukan suatu masyarakat sebagai kota atau desa dapat dilihat dari ciri-cirinya seperti :
1)      Jumlah kepadatan peduduk, kota memiliki penduduk yang lebih banyak daripada desa.
2)      Lingkungan hidup di pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas, lingkungan perkotaan sebagian besar dilapisi beton dan aspal.
3)      Mata pencaharian masyarakat desa berada pada sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris, sedangkan kota sektor ekonomi sekunder yaitu industri, dan ekonomi tersier yaitu bidang pelayanan jasa.
4)      Corak kehidupan sosial di desa masih homogen, sebaliknya di kota sangat heterogen karena disana saling bertemu suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memliki kepentingan berlainan.
5)      Stratifikasi sosial di kota jauh lebih komplek dibanding desa. Misalnya mereka yang memiliki keahlian pekerjaan yang memerlukan banyak pemikiran memiliki kedudukan dan upah yang tinggi dibanding tenaga kasar. Hal ini berakibat perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin.
6)      Mobilitas sosial di kota jauh lebih tinggi dibanding desa, baik secara vertikal yaitu perpindahan kedudukan yang lebih tinggi atau rendah, maupun perpindahan kedudukan yang setingkat atau horizontal.
7)      Pola interaksi pada masyarakat pedesaan adalah motif-motif sosial, dalam interaksi sosial selalu diusahakan agar kesatuan sosial tidak terganggu, konflik atau pertentangan sosial sebisa mungkin dihindarkan. Sebaliknya pada masyarakat perkotaan dalam interaksi lebih  dipengaruhi oleh ekonomi daripada motif sosial. Selain itu juga motif non sosial seperti politik, pendidikan.
8)      Solidaritas sosial di desa lebih tinggi dibanding kota
9)      Sedangkan dalam hirarki sistem administrasi nasional kedudukan kota lebih tinggi daripada desa, semakin tinggi kedudukan suatu kota dalam hirarki tersebut maka kompleksitasnya semakin meningkat/ makin banyak kegiatan disana.


BAB VIII
PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT

A.                PERBEDAAN KEPENTINGAN

Hidup bermasyarakat adalah hidup dengan berhubungan baik antara dihubungkan dengan menghubungkan antara individu-individu maupun antara kelompok dan golongan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi dan menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota penerima karena ia patut untuk menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang telah disepakati itu.
Rasa solider, toleransi, tenggang rasa, tepa selira sebagai bukti kuatnya ikatan itu. Pada diri setiap anggota terkandung makna adanya saling ikut merasakan dan saling bertanggungjawab pada setiap sikap tindak baik mengarah kepada yang positif maupun negatif. Sakit anggota masyarakat satu akan dirasakan oleh anggota lainnya. Tetapi disamping adanya suatu harmonisasi, disisi lain keadaan akan menjadi sebaliknya. Bukan harmonisasi ditemukan, tetapi disharmonisasi. Bukan keadaan organisasi tetapi disorganisasi.
Sering kita temui keadaan dimasyarakat para anggotanya pada kondisi tertentu, diwarnai oleh adanya persamaan-persamaan dalam berbagai hal. Tetapi juga didapati perbedaan-perbedaan dan bahkan sering kita temui pertentangan-pertentangan. Sering diharapkan panas sampai petang tetapi kiranya hujan setengah hari, karena sebagus-bagusnya gading akan mengalami keretakan. Itulah sebabnya keadaan masyarakat dan negara mengalami kegoyahan-kegoyahan yang terkadang keadaan tidak terkendali dan dari situlah terjadinya perpecahan. Sudah tentu sebabnya, misalnya adanya pertentangan karena perbedaan keinginan.
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan sifat naluriah disamping adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu terjadi pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok agama, kelompok ideologi tertentu termasuk antara mayoritas dan minoritas.

B.                 PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOSENTRISME

1.      Pengertian Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Bahasa arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Disisi lain bahasa arab “khusnudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu, bisa saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing.
Prasangka ini sebagian besar sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsur efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar berprasangka. Tampaknya kepribadian dan inteligensi, juga faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka, karena orang-orang macam ini bersikap dan bersifat kritis. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa latar belakang prasangka. Demikian juga sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.

2.      Sebab-Sebab Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi

·         Berlatar belakang sejarah. Orang-orang kulit putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus sebagai budak.
·         Dilatar-belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional. Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal. Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat dan lain sebagainya.
·         Bersumber dari faktor kepribadian.
·         Berlatar belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama.

3.      Usaha-Usaha Mengurangi atau Menghilangkan Prasangka dan Diskriminasi

·         Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
·         Perluasan kesempatan belajar.
·         Sikap terbuka dan sikap lapang.

4.      Pengertian Etnosentrisme

Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan dipergunakan sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap dasar ideologi Chauvinisme pernah dianut oleh orang-orang Jerman pada zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya superior, lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, dan memandang bangsa-bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista dsb.

C.                 PERTENTANGAN SOSIAL ATAU KETEGANGAN DALAM MASYARAKAT.

Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dasar konflik berbeda-beda. Terdapat 3 elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu :
·         Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau baigan-bagian yang terlibat di dalam konflik.
·         Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan.
·         Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.

Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat, yaitu :
·         Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan yang antagonistik didalam diri seseorang.
·         Pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan norma-norma, motivasi-motivasi mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
·         Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma kelompok yang bersangkutan berbeda. Perbedan-perbedaan dalam nilai, tujuan dan norma serta minat, disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber sosio-ekonomis didalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan lain.

Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
·         Elimination yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam konflik yang diungkapkan dengan : kami mengalah, kami mendongkol, kami keluar, kami membentuk kelompok kami sendiri.
·         Subjugation atau domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya.
·         Mjority Rule artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
·         Minority Consent artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat untuk melakukan kegiatan bersama
·         Compromise artinya kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
·         Integration artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.

D.                GOLONGAN-GOLONGAN YANG BERBEDA DAN INTEGRASI SOSIAL

Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang berwujudkan Negara Indonesia. Masyarakat majemuk dipersatukan oleh sistem nasional yang mengintegrasikannya melalui jaringan-jaringan pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial. Aspek-aspek dari kemasyarakatan tersebut, yaitu Suku Bangsa dan Kebudayaan, Agama, Bahasa, Nasional Indonesia.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk tetap berada pada kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi berdampingan (Bhineka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi:
·         Tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
·         Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar warga negara Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
·         Agama, sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
·         Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu

Integrasi Sosial adalah merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat menjadi satu kesatuan. Unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan sosial,ras, etnik, agama, bahasa, nilai, dan norma. Syarat terjadinya integrasi sosial antara lain:
·         Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan mereka
·         Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan bersama mengenai norma dan nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman
·         Nilai dan norma berlaku lama dan tidak berubah serta dijalankan secara konsisten.

Integrasi Internasional merupakan masalah yang dialami semua negara di dunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahan yang dihadapinya. Menghadapi masalah integritas sebenarnya tidak memiliki kunci yang pasti karena latar belakang masalah yang dihadapi berbeda, sehingga integrasi diselesaikan sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan, dapat dengan jalan kekerasan atau strategi politik yang lebih lunak. Beberapa masalah integrasi internasional, antara lain:
ü  perbedaan ideologi
ü  kondisi masyarakat yang majemuk
ü  masalah teritorial daerah yang berjarak cukup jauh
ü  pertumbuhan partai politik

Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkecil atau menghilangkan kesenjangan-kesenjangan itu, antara lain:
·         Mempertebal keyakinan seluruh warga Negara Indonesia terhadap Ideologi Nasional
·         Membuka isolasi antar berbagai kelompok etnis dan antar daerah/pulau dengan membangun saran komunikasi, informasi, dan transformasi
·         Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
·         Membentuk jaringan asimilasi bagi kelompok etnis baik pribumi atau keturunan asing.

E.                 INTEGRASI NASIONAL

Integrasi Nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa. Selain itu dapat pula diartikan bahwa integrasi bangsa merupakan kemampuan pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaannya di seluruh wilayah (Mahfud MD, 1993: 71).
·         Integrasi tidak sama dengan pembauran atau asimilasi.
·         Integrasi diartikan integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme sosial.
·         Pembauran dapat berarti asimilasi dan amalganasi.
·         Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan mengenai berapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka, yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis).
·         Melalui difusi (penyebaran), di mana-mana unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan yang berada dalam keadaan konflik dengan unsur kebudayaan tradisional tertentu.



BAB IX
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

A.    ILMU PENGETAHUAN

Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.

Sikap Ilmiah
Scientist atau Sikap ilmiah dimana ilmuwan mempelajari gejala-gejala alam melalui observasi, eksperimentasi dan analisis yang rasional. Ia menggunakan sikap-sikap tertentu (Scientific attitudes). Sikap-sikap tersebut antara lain :

1.      Jujur
Seorang ilmuwan wajib melaporakan hasil pengamatan secara objektif. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin saja ia tidak jujur dari manusia lain, tetapi dalam hal penelitian ia harus sejujur-jujurnya dalam melaporkan penelitiannya.

2.      Terbuka
Seorang ilmuwan mempunyai pandangan luas, terbuka dan bebas dari praduga. Ia tidak akan meremehkan suatu gagasan baru. Ia akan menghargai setiap gagasan baru dan mengujinya sebelum menerima/ menolaknya. Jadi ia terbuka akan pendapat orang lain.



3.      Toleran
Seorang ilmuwan tidak merasa bahwa ia paling hebat. Ia bersedia mengakui bahwa orang lain mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih luas, atau mungkin saja pendapatnya bisa salah. Dalam belajar menambah ilmu pengetahuan ia bersedia belajar dari orang lain, membandingkan pendapatnya dengan pendapat orang lain, serta tidak memaksakan suatu pendapat kepada orang lain.

4.      Skeptis
Ilmuwan dalam mencari kebenaran akan bersikap hati-hati, meragui, dan skeptis. Ia akan menyalidiki bukti-bukti yang melatarbelakangi suatu kesimpulan. Ia akan bersikap kritis untuk memperoleh data yang menjadi dasar suatu kesimpulan tanpa didukung bukti-bukti yang kuat.

5.      Optimis
Seorang ilmuwa selalu berpengharapan baik. Ia tidak akan berkata bahwa sesuatu itu tidak dapat dikerjakan, tetapi akan mengatakan “ Berikan saya kesempatan untuk memikirkan dan mencoba mengerjakan “.

6.      Pemberani
Ilmuwan sebagai pencari kebenaran harus berani melawan semua kesalahan, penipuan, kepura-puraan, kemunafikan dan kebatilan yang akan menghambat kemajuan.

7.      Kreatif
Ilmuwan dalam mengembangkan ilmunya harus selalu kreatif agar terlihat lebih menarik.

B.     TEKNOLOGI

Teknologi merupakan satu konsep yang luas dan mempunyai lebih daripada satu takrifan. Takrifan yang pertama ialah pembangunan dan penggunaan alatan, mesin, bahan dan proses untuk menyelesaikan masalah manusia.
Istilah teknologi selalunya berkait rapat dengan rekaan dan gadget menggunakan prinsip sains dan proses terkini. Namun, rekaan lama seperti tayar masih menunjukkan teknologi.
Maksud yang kedua digunakan dalam bidang ekonomi, yang mana teknologi dilihat sebagai tahap pengetahuan semasa dalam menggabungkan sumber bagi menghasilkan produk yang dikehendaki. Oleh itu, teknologi akan berubah apabila pengetahuan teknikal kita berubah.
Takrifan teknologi yang diguna pakai di sekolah-sekolah dan institusi-insitusi pengajian tinggi di Malaysia ialah aplikasi pengetahuan sains yang boleh memanfaatkan serta menyelesaikan masalah manusia yang dihadapi dalam kehidupan seharian.
Ciri-ciri fenomena teknik pada masyarakat :
·         Rasionalitas, artinya tidakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional
·         Artifisialitas, artiya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
·         Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi da rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis
·         Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
·         Monisme artiya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
·         Universalisme. artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan
·         Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip

Hubungan Ilmu dengan Nilai Hidup

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan keilmuan maupun penggunaan ilmu, yang berarti dalam pengembangannya harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bersifat universal, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan kepentingan generasi mendatang.
Tanggung jawab ilmu menyangkut juga hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu dimasa lalu, sekarang maupun akibatnya di masa mendatang, berdasarkan keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan nilai-nilai hidup baik alam maupun manusia. Hal ini tentu menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya.
Jadi perkembangan ilmu akan mempengaruhi nili-nilai kehidupan manusia tergantung dari manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.


Mengapa Ilmu Tidak Dapat Terpisahkan dengan Nilai-nilai Hidup

Ilmu dapat berkembang dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak terpisahkan dalam perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Walaupun ada anggapan bahwa ilmu harus bebas nilai, yaitu dalam setiap kegiatan ilmiah selalu didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Anggapan itu menyatakan bahwa ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri, yaitu ilmu harus bebas dari pengandaian, pengaruh campur tangan politis, ideologi, agama dan budaya, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin, dan pertimbangan etis menghambat kemajuan ilmu.
Pada kenyataannya, ilmu bebas nilai dan harus menjadi nilai yang relevan, dan dalam aktifitasnya terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai hidup harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu jika praktiknya mengandung tujuan yang rasional. Dapat dipahami bahwa mengingat di satu pihak objektifitas merupakan ciri mutlak ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
Setiap kegiatan teoritis ilmu yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan yang merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa yang merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, dan otoritas yang merupakan kepentingan ilmu sosial.
Dengan bahasan diatas menjawab pertanyaan mengapa ilmu tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai hidup. Ditegaskan pula bahwa dalam mempelajari ilmu seperti halnya filsafat, ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup manusia, yaitu:

1.      Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.

2.      Pendekatan Epistemologi
Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkikan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.
Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup manusia, dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

3.      Pendekatan Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk itu ilmu yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

C.     ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI

Ilmu pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau kelompok. Apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan  yang diakui secara umum dan universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat meyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima kebenaran.
Istilah ilmu diatas, berbeda dengan istilah pengetahuan. Ilmu adalah diperoleh melalui kegiatan metode ilmiah (epistemologi) yang merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ilmu terjamin dalam kegiatan metode ilmiah (èkegiatan meyusun tubuh pengetahuan yang bersifat logis, penjabaran hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau menguji kebenarannya secara faktual; sehingga kegiatannya disingkat menjadi logis-hipotesis-verifikasi atau deduksi-hipotesis-verifikasi).
Sedangkan pengetahuan adalah pikiran atau pemahaman diluar atau tanpa kegiatan metode ilmiah, sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada kenyataan empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang disertasi mencoba-coba, intuisi (pengetahuan yang diperoleh tanpa pembalaran) dan wahyu (merupakan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada para Nabi atau UtusanNya).
Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki 3 (tiga) komponen penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya dimana ketiganya erat kaitannya dengan nilai moral yaitu:
1)      Ontologis (Objek Formal Pengetahuan)
Ontologis dapat diartikan hakikat apa yang dikaji oleh pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahannya.
2)      Epistemologis
Epistemologis seperti diuraikan diatas hanyalah merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan.
3)      Aksiologis
Aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan.

Kaitan ilmu dan teknologi dengan nilai moral, berasal dari ekses penerapan ilmu dan teknologi sendiri. Dalam hal ini sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan:
1.      Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi adalah bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis, soal penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Golongan ini berasumsi bahwa kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai kemanusiaan lainnya dikorbankan demi teknologi.
2.      Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi itu bersifat netral hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asa moral atau nilai-nilai. Golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui ekses-ekses yang terjadi apabila ilmu dan teknologi disalahgunakan.

Nampaknya ilmuwan golongan kedua yang patut kita masyarakatkan sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan “pelacuran” dibidang ilmu dan teknologi dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

D.    KEMISKINAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·         Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
·         Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
·         Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Ciri Kemiskinan
Apabila kita amati, mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
·         Mereka umumnya tidak mempunyai factor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal dan keterampilan.
·         Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
·         Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat SD atau SLTP. Waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk belajar.
·         Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan
·         Kebanyakan dari mereka yang hidup di kota, masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan yang mumpuni dan pendidikan yang layak untuk bersaing di kota. Sehingga banyak dari mereka bekerja sebagai buruh kasar, pedagang musiman, tukang becak, pembantu rumah tangga. Beberapa dari mereka bahkan jadi pengangguran atau gelandangan.

Fungsi-fungsi Orang Miskin

Pertama : adalah menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan kotor, tidak terhormat, berat, berbahaya, tetapi di bayar murah.

Kedua : kemiskinan adalah menambah atau memperpanjang nilai guna barang atau jasa. Baju bekas yang sudah tidak terpakai dapat di jual ( atau dengan bangga di katakan ” di infakan ”)kepada orang-orang miskin.

Ketiga : kemiskinan adalah mensubsidi berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya. Pegawai-pegawai kecil, karena di bayar murah, petani tidak boleh menaikan harga beras mereka untuk mensubsidi orang-orang kota.

Kempat : kemiskinan adalah menyediakan lapangan kerja,bagaimana mungkin orang miskin memberikan lapangan kerja ? karena ada orang miskin lahirlah pekerjaan tukang kredit ( barang atau uang ) aktivis-aktivis LSM ( yang menyalurkan dana dari badan-badan internasional lewat para aktivis yang belum mendapatkan pekerjaan kantor ) belakangan kita tahu bahwa tidak ada komunitas yang paling laku di jual oleh negara ketiga di pasaran internasional selain kemiskinan.

Kelima : kemiskinan adalah memperteguh status sosial orang-orang kaya, perhatikan jasa orang miskin pada perilaku orang-orang kaya baru. Sopir yang menemaninya memberikan label bos kepadanya.Nyonya-nyonya dapat menunjukan kekuasaannya dengan memerintah inem-inem mengurus rumah tangganya.

Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Presiden SBY dengan penuh bangga memberitahu delegasi forum Rio+20 di Brazil bahwa Pemerintah RI berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 24% di tahun 1998 menjadi hanya 12.5% pada tahun ini.
Statistiknya jelas, tidak ada yang keliru. Sumber datanya adalah Global Hunger Index (GHI) yang menjadi acuan dunia internasional untuk mengukur jumlah penduduk miskin suatu negara.
Tapi kalau kita fokuskan ke rentang tahun 2004-2012, yaitu periode ketika SBY menjadi presiden, ada sesuatu yang kurang beres.
Jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun 2003, setahun sebelum SBY didapuk menjadi presiden, adalah 12,47 persen. Datanya bisa diklik disini (hal. 98).
Setelah 8 tahun di bawah pemerintahan SBY, angka kemiskinan tetap berada di angka 12.5 persen, ini artinya apa Bapak Presiden SBY yang mulia?
Di tahun 2009 angka kemiskinan Indonesia justru sempat melonjak ke angka 14.8 persen (data klik disini). Bisa dimaklumi, mungkin akibat krisis ekonomi global tahun 2008.
Tetapi di tahun-tahun pemerintahan SBY angka kemiskinan memang berada di sekitar angka 12 persen dengan sedikit plus-minus. Tahun 2007 turun seupil menjadi 11.57 persen (data disini), tahun 2008 turun lumayan ke angka 11.3 persen (data disini), tahun 2010 melompat ke angka 13.2 persen (data disini), dan tahun 2011 turun ke angka 12.2 persen (data disini).
Kalau dirata-rata, angka kemiskinan kita selama 7 tahun sekitar 12%, tak beda jauh dengan ketika Megawati masih menjadi presiden.
Dan untuk pengetahuan anda, 12 persen jumlah penduduk miskin termasuk kategori SERIUS dalam standar Global Hunger Index.
Mungkin sudah saatnya Pak SBY lebih menseriusi upaya pengentasan kemiskinan ketimbang pusing memikirkan pendongkelan Anas Urbaningrum.



BAB X
AGAMA DAN MASYARAKAT

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.

Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.

Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.

Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.

AGAMA DI INDONESIA

Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.

Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.

Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.

CARA BERAGAMA

Berdasarkan cara beragamanya:
·         Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
·         Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.

1.      Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
2.      Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

A.    FUNGSI AGAMA

Ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.       Dimensi keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.      Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.       Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.      Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.       Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.

B.     PELEMBAGAAN AGAMA

Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.



a.       Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral

Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
·         Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
·         Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.

b.      Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang

Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.

C.     AGAMA, KONFLIK DAN MASYARAKAT

Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.