TUGAS III ISD
BAB VII
MASYARAKAT
PERKOTAAN DAN PEDESAAN
A. PENGERTIAN
MASYARAKAT
Masyarakat dalam arti luas merupakan
keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh
lingkungan, bangsa dan sebagainya. Masyarakat dalam arti sempit yaitu
sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu misalnya teritorial,
bangsa, golongan dsb.
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat harus
mempunyai syarat- syarat seperti :
·
Harus ada pengumpulan manusia
·
Telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu
·
Adanya aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada
kepentingan dan tujuan bersama.
Dipandang dari cara terbentuknya, masyarakat dapat dibagi dalam :
·
Masyarakat paksaan : negara, tawanan
·
Masyarakat merdeka
ü masyarakat natur, masyarakat yang terjadi
dengan sendirinya seperti gerombolan (horde), suku (stam) yang bertalian karena
hubungan darah.
ü masyarakat kultur,
masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, contoh
koperasi, kongsi perekonomian, gereja dsb.
B. MASYARAKAT PERKOTAAN
Masyarakat perkotaan sering disebut juga
sebagai urban community, pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada
sifat-sifat kehidupan seta ciri-ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
1. Kehidupan keagaamaan
kurang apabila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di pedesaan
2. Pada umumnya orang kota
mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Kehidupan keluarga
dikota sukar untuk disatukan karena perbedaan kepentingan, agama, paham politik
dsb.
3. Pembagian kerja dalam
masyarakat kota jauh lebih tegas dan mempunyai batas-batas nyata.
4. Kemungkinan mendapatkan
pekerjaan lebih banyak diperoleh.
5. Jalan pikiran yang
rasional, menyebabkan interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada kepentingan
daripada faktor pribadi.
6. Jalan kehidupan yang
cepat di kota menyebabkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota.
7. Perubahan-perubahan
sosial tampak dengan nyata sebab kota lebih terbuka dalam menerima pengaruh
dari luar.
Perbedaan desa dengan kota
Dalam menentukan suatu masyarakat sebagai kota atau desa dapat dilihat dari
ciri-cirinya seperti :
1. Jumlah kepadatan
peduduk, kota memiliki penduduk yang lebih banyak daripada desa.
2. Lingkungan hidup di
pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas, lingkungan perkotaan sebagian
besar dilapisi beton dan aspal.
3. Mata pencaharian
masyarakat desa berada pada sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris,
sedangkan kota sektor ekonomi sekunder yaitu industri, dan ekonomi tersier
yaitu bidang pelayanan jasa.
4. Corak kehidupan sosial
di desa masih homogen, sebaliknya di kota sangat heterogen karena disana saling
bertemu suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memliki kepentingan
berlainan.
5. Stratifikasi sosial di
kota jauh lebih komplek dibanding desa. Misalnya mereka yang memiliki keahlian
pekerjaan yang memerlukan banyak pemikiran memiliki kedudukan dan upah yang
tinggi dibanding tenaga kasar. Hal ini berakibat perbedaan yang menyolok antara
kaya dan miskin.
6. Mobilitas sosial di kota
jauh lebih tinggi dibanding desa, baik secara vertikal yaitu perpindahan
kedudukan yang lebih tinggi atau rendah, maupun perpindahan kedudukan yang
setingkat atau horizontal.
7. Pola interaksi pada
masyarakat pedesaan adalah motif-motif sosial, dalam interaksi sosial selalu
diusahakan agar kesatuan sosial tidak terganggu, konflik atau pertentangan sosial
sebisa mungkin dihindarkan. Sebaliknya pada masyarakat perkotaan dalam
interaksi lebih dipengaruhi oleh ekonomi daripada motif sosial. Selain
itu juga motif non sosial seperti politik, pendidikan.
8. Solidaritas sosial di
desa lebih tinggi dibanding kota
9. Sedangkan dalam hirarki
sistem administrasi nasional kedudukan kota lebih tinggi daripada desa, semakin
tinggi kedudukan suatu kota dalam hirarki tersebut maka kompleksitasnya semakin
meningkat/ makin banyak kegiatan disana.
C. MASYARAKAT PEDESAAN
PENGERTIAN PEDESAAN/DESA
Menurut Sutarjo Kartohadikusuma adalah
satu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri. Menurut bintarto, desa merupakan perwujudan kesatuan
geografi, sosial, ekonomi, politik, dan cultural yang terdapat di suatu daerah
dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Sedangkan menurut Paul H. Landis desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa
dengan ciri-ciri :
·
Mempunyai pergaulan hidup yang saling mengenal antara rbuan jiwa
·
Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
·
Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris, yang dipengaruhi oleh iklim,
keadaan alam, kekayaan alam, sedang pekerjaan yang bukan agraris adalah
bersifat sampingan.
Secara umum yang menjadi ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain :
·
Antara warga mempunyai hubungan yang mendalam dan erat bila dibandingkan
dengan masyarakat di luar batas-batas wilayahnya
·
Sistem kehidpan umumnya berkelompok denagan dasar kekeluargaan
(gemeinscharft atau paguyuban)
·
Sebagian warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian, pekerjaan yang
bukan pertanian merupakan pekerjaan part time sebagai pengisi waktu luang.
·
Masyarakat homogen seperti dalam mata pencaharian, agama, adat istiadat
dsb.
Hakikat dan Sifat Masyarakat Pedesaan
Masyarakat desa yang agraris dipandang
sebagai masyarakat yang tenang, hal itu terjadi karena sifat keguyuban/
gemeinscharft sehingga oleh orang kota dianggap sebagai tempat untuk melepaskan
lelah.
Tetapi dalam masyarakat desa terdapat pula perbedaan pendapat atau paham
yang menyebabkan ketegangan sosial, yaitu :
1. Konflik/ pertengkaran,
pertengkaran biasanya berkisar masalah sehari-hari/ rumah tangga juga pada
masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan dsb.
2. Kontroversi/
pertentangan, disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan/ adat
istiadat, psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna/ black magic.
3. Kompetisi/ persaingan,
dapat besifat positif maupun negatif. Positif bila wujudnya saling meningkatkan
prestasi dan produksi, negatif bila berhenti pada sifat iri.
Kegiatan Pada Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan mempunyai penilain
yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain.
Jadi masyarakat pedesaan bukan masyarakat yang senang diam tanpa aktivitas.
Pada umumnya masyarakat desa sudah bekerja dengan keras tetapi para ahli lebih
memberikan perangsang yang dapat menarik aktivitas masyarakat pedesaan, dan
menjaga agar cara dan irama bekerja bisa efektif dan efisien serta kontinyu
(diusahakan mengisi waktu-waktu kosong bekerja karena keadaan musim/ iklim di
indonesia)
Sistem Nilai dan Budaya Petani Indonesia
Sistem nilai budaya petani Indonesia antara lain sebagai berikut :
1. Petani Indonesia
terutama di Jawa menganggap kehidupan adalah hal yang buruk dan kesengsaraan
sehingga mereka berlaku prihatin dan berusaha dan ikhtiar.
2. Mereka beranggapan bahwa
orang bekerja untuk hidup dan kadang-kadang mencapai kedudukan.
3. Mereka beorientasi pada
masa sekarang, kurang mempedulikan masa depan.
4. Mereka menanggap alam
tidak menakutkan, bila ada bencana hanya merupakan sesuatu yang wajib diterima.
Mereka cukup menyesuaikan diri dengan alam dan kurang usaha untuk menguasainya.
5. Untuk menghadapi alam
mereka cukup dengan bergotong-royong, mereka sadar bahwa dalam hidup pada
hakikatnya tergantung pada sesama.
D. ASPEK POSITIF
DAN NEGATIF
Untuk menunjang aktivitas serta memberikan
suasana aman, tenteram, nyaman, bagi warganya, kota diharuskan menyediakan fasilitas
kehidupan dan mengatasi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat
warganya.Suatu lingkungan perkotaan seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi
:
·
Wisma, mengembangakan daerah perumahan sesuai dengan pertambahan penduduk
serta memperbaiki lingkungan perumahan yang telah ada.
·
Karya, yaitu penyediaan lapangan kerja. Dapat dilakukan dengan enyediaan
ruang untuk kegiatan perindustrian, perdagangan, pelabuhan, terminal serta
kegiatan lain.
·
Marga, unsur ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi untuk
menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat lain dalam kota
atau dengan kota-kota daerah lainnya. Dalam unsur ini termasuk :
Pengembangan jaringan jalan dan fasilitasnya ( terminal, parkir dll)-
Pengembangan jaringan telekomunikasi sebagai bagian dari sistem transportasi
dan komunikasi kota.
·
Memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas hiburan, rekreasi, pertamanan,
kebudayaan dan kesenian.
·
Penyempurnaan yaitu unsur yang merupakan bagian penting bagi kota, termasuk
fasilitas keagamaan, perkuburan kota, fasilitas pendidikan dan kesehatan,
jaringan utilitas/ keperluan umum.
Kelima unsur pokok ini merupakan pola
pokok dari komponen-komponen perkotaan yang kauantitas dan kualitasnya kemudian
dirinci dalam perencanaan suatu kota. Kebijaksanaan perencanaan dan
pengembangan kota harus dapat dalam kerangka pendekatan yang luas yaitu
pendekatan regional. Rumusan pengembangan kota seperti itu tergambar dalam
pendekatan penanganan masalah kota sebagai berikut :
a. Menekan angka kelahiran
b. Mengalihkan pusar
pembangunan pabrik/industri ke pinggir kota\
c. Membendung urbanisasi
d. Membangun kota satelit
e. Meningkatkan fungsi dan
peranan kota-kota kecil atau desa-desa yang telah ada disekitar kota besar
f. Transmigrasi bagi warga
yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan
E. HUBUNGAN ANTARA MASYARAKAT PERKOTAAN DAN PEDESAAN
Masyarakat pedesaan dan perkotaan adalah
dua komunitas yang saling membutuhkan. Di antara keduanya terdapat
hubungan yang erat dan bersifat ketergantungan karena keduanya saling
membutuhkan satu sama lain. Masyarakat kota bergantung pada masyarakat
desa dalam memenuhi kebutuhannya akan bahan – bahan pangan seperti beras,
sayur- mayur, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga pekerja
kasar bagi jenis - jenis pekerjaan tertentu yang dibutuhkan untuk bekerja
di kota. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat
musim tanam, mereka sibuk bekerja di sawah dan selagi menunggu masa panen,
mereka mencari pekerjaan lain untuk mencari tambahan penghasilan.
Sebaliknya, masyarakat kota menghasilkan
barang-barang yang diperlukan juga oleh masyarakat yang berada di desa seperti
pakaian, alat elektronik, obat-obatan, dan lain sebagainya. Di kota juga
tersedia tenaga kerja yang siap melayani dalam bidang jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat desa, misalnya saja tenaga – tenaga di bidang medis atau kesehatan,
permesinan, elektronika dan alat transportasi. Serta tenaga yang mampu memberikan bimbingan
dalam upaya peningkatan hasil budi daya pertanian, peternakan ataupun
perikanan darat.
F. PERBEDAAN MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
Masyarakat pedesaan kehidupannya berbeda dengan
masyarakat perkotaan. Perbedaan-perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan yang
mendasar dari keadaan lingkungan, yang mengakibatkan adanya dampak terhadap
personalitas dan segi-segi kehidupan. Untuk menjelaskan perbedaan atau
ciri-ciri dari kedua masyarakat tersebut dapat ditelusuri dalam hal sebagai
berikut:
1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam
Masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi
geografisnya di daerah desa. Mereka sulit “mengontrol” kenyataan alam yang
dihadapinya, padahal bagi petani realitas alam ini sangat vital dalam menunjang
kehidupannya.
2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian
Pada umumnya mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani. Mata
pencaharian berdagan merupakan mata pencaharian sekunder. Sedangkan di
masyarakat kota, mata pencaharian cenderung ,menjadi terspesialisasi, dan
spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan.
3. Ukuran Komunitas
Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
4. Kepadatan Penduduk
Penduduk desa kepadatan penduduknya lebih rendah dibandingkan dengan
kepadatan penduduk perkotaan.
5. Homogenitas dan Heterogenitas
Homogenitas atau persamaan dalam ciri-ciri social dan psikologis, bahasa,
kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku sering nampak pada masyarakat pedesaan
bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya, penduduknya
heterogen, terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur, kesenangan,
kebudayaan dan mata pencaharian.
6. Diferensiasi Sosial
Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yang
tinggi di dalam diferensiasi social. Kenyataan ini bertentangan dengan
bagian-bagian kehidupan di masyarakat pedesaan.
7. Pelapisan Sosial
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” antara masyarakat kota
dan masyarakat desa, namun di sini saya akan memberikan satu contoh saja, yaitu
pada masyarakat desa, kesenjangan (gap) antara kelas eksterm dalam piramida
sosial tidak terlalu besar, sedangkan pada masyarakat kota jarak antara kelas
eksterm yang kaya dan miskin cukup besar.
8. Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial berkaitan dengan perpindahan atau pergerakkan suatu
kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya, terjadinya peristiwa mobilitas
sosial demikian disebabkan oleh penduduk kota yang heterogen. Dengan demikian,
maka mobilitas sering terjadi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan.
9. Interaksi Sosial
Tipe interaksi sosial di kota dengan di desa perbedaannya sangat kontras,
baik aspek kualitasnya maupun kuantitasnya.
10. Pengawasan
Sosial
Tekanan sosial oleh masyarakat di pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang
bersifat pribadi dan ramah tamah (informal). Di kota pengawasan sosial lebih
bersifat formal, pribadi, kurang “terkena” aturan yang ditegakkan.
11. Pola
Kepemimpinan
Menentukan kepemimpinan di pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh
kualitas pribadi dari individu dibandingkan dengan kota.
12. Standar
Kehidupan
Di kota, dengan konsentrasi dan jumlah penduduk yang padat, tersedia dan ada
kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan dan fasilitas-fasilitas yang membahagiakan
kehidupan, sedangkan di desa terkadang tidak demikian.
13. Kesetiakawanan
Sosial
Kesetiakawanan sosial atau kesatuan dan kepaduan pada masyarakat pedesaan
merupakan akibat dari sifat-sifat yang sama, persamaan dalam pengalaman, tujuan
yang sama, di mana bagian dari masyarakat pedesaan hubungan pribadinya bersifat
informal dan tidak bersifat kontrak sosial (perjanjian).
14. Nilai dan Sistem
Nilai
Nilai dan system nilai di desa dengan di kota berbeda, dan dapat diamati
dalam kebiasaan, cara, dan norma yang berlaku. Pada masyarakat pedesaan,
misalnya mengenai nilai-nilai keluarga masih berperan. Dalam hal ini masyarakat
kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan sistem nilai desa.
Perbedaan desa dengan kota
Dalam menentukan suatu masyarakat sebagai kota atau desa dapat dilihat dari
ciri-cirinya seperti :
1) Jumlah kepadatan
peduduk, kota memiliki penduduk yang lebih banyak daripada desa.
2) Lingkungan hidup di
pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas, lingkungan perkotaan sebagian
besar dilapisi beton dan aspal.
3) Mata pencaharian
masyarakat desa berada pada sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris,
sedangkan kota sektor ekonomi sekunder yaitu industri, dan ekonomi tersier
yaitu bidang pelayanan jasa.
4) Corak kehidupan sosial
di desa masih homogen, sebaliknya di kota sangat heterogen karena disana saling
bertemu suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memliki kepentingan
berlainan.
5) Stratifikasi sosial di
kota jauh lebih komplek dibanding desa. Misalnya mereka yang memiliki keahlian
pekerjaan yang memerlukan banyak pemikiran memiliki kedudukan dan upah yang
tinggi dibanding tenaga kasar. Hal ini berakibat perbedaan yang menyolok antara
kaya dan miskin.
6) Mobilitas sosial di kota
jauh lebih tinggi dibanding desa, baik secara vertikal yaitu perpindahan
kedudukan yang lebih tinggi atau rendah, maupun perpindahan kedudukan yang
setingkat atau horizontal.
7) Pola interaksi pada
masyarakat pedesaan adalah motif-motif sosial, dalam interaksi sosial selalu
diusahakan agar kesatuan sosial tidak terganggu, konflik atau pertentangan
sosial sebisa mungkin dihindarkan. Sebaliknya pada masyarakat perkotaan dalam
interaksi lebih dipengaruhi oleh ekonomi daripada motif sosial. Selain
itu juga motif non sosial seperti politik, pendidikan.
8) Solidaritas sosial di
desa lebih tinggi dibanding kota
9) Sedangkan dalam hirarki
sistem administrasi nasional kedudukan kota lebih tinggi daripada desa, semakin
tinggi kedudukan suatu kota dalam hirarki tersebut maka kompleksitasnya semakin
meningkat/ makin banyak kegiatan disana.
BAB
VIII
PERTENTANGAN
SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT
A.
PERBEDAAN KEPENTINGAN
Hidup bermasyarakat adalah hidup dengan
berhubungan baik antara dihubungkan dengan menghubungkan antara
individu-individu maupun antara kelompok dan golongan. Hidup bermasyarakat juga
berarti kehidupan dinamis dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi
dan menerima. Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota
penerima karena ia patut untuk menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai
yang telah dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat
pengontrol agar para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang
telah disepakati itu.
Rasa solider, toleransi, tenggang rasa,
tepa selira sebagai bukti kuatnya ikatan itu. Pada diri setiap anggota terkandung
makna adanya saling ikut merasakan dan saling bertanggungjawab pada setiap
sikap tindak baik mengarah kepada yang positif maupun negatif. Sakit anggota
masyarakat satu akan dirasakan oleh anggota lainnya. Tetapi disamping adanya
suatu harmonisasi, disisi lain keadaan akan menjadi sebaliknya. Bukan
harmonisasi ditemukan, tetapi disharmonisasi. Bukan keadaan organisasi tetapi
disorganisasi.
Sering kita temui keadaan dimasyarakat
para anggotanya pada kondisi tertentu, diwarnai oleh adanya persamaan-persamaan
dalam berbagai hal. Tetapi juga didapati perbedaan-perbedaan dan bahkan sering
kita temui pertentangan-pertentangan. Sering diharapkan panas sampai petang
tetapi kiranya hujan setengah hari, karena sebagus-bagusnya gading akan
mengalami keretakan. Itulah sebabnya keadaan masyarakat dan negara mengalami
kegoyahan-kegoyahan yang terkadang keadaan tidak terkendali dan dari situlah
terjadinya perpecahan. Sudah tentu sebabnya, misalnya adanya pertentangan
karena perbedaan keinginan.
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan
sifat naluriah disamping adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan
kepentingan itu terjadi pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok
etnis, kelompok agama, kelompok ideologi tertentu termasuk antara mayoritas dan
minoritas.
B.
PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOSENTRISME
1. Pengertian Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu
anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu buruk dengan tanpa
kritik terlebih dahulu. Bahasa arab menyebutnya “sukhudzon”. Orang, secara
serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Disisi lain
bahasa arab “khusnudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada
tindakan. Menurut Morgan (1966) sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik
secara positif atau negarif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang
baru diketahui setelah ia bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu, bisa
saja bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka
merupakan kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul
tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan
tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui
oleh diri individu masing-masing.
Prasangka ini sebagian besar sifatnya
apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan pengalaman sendiri),
karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung pola orang lain.
Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau tergesa-gesa, berdasarkan
generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah, dan dibarengi proses
simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap sesuatu realita. Dalam kehidupan
sehari-hari prasangka ini banyak dimuati emosi-emosi atau unsur efektif yang
kuat.
Tidak sedikit orang yang mudah
berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar berprasangka.
Tampaknya kepribadian dan inteligensi, juga faktor lingkungan cukup berkaitan
dengan munculnya prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar
berprasangka, karena orang-orang macam ini bersikap dan bersifat kritis.
Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu
tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi
seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seseorang yang mempunyai prasangka
rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya.
Walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa latar
belakang prasangka. Demikian juga sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat
saja bertindak tidak diskriminatif.
2. Sebab-Sebab Timbulnya Prasangka dan Diskriminasi
·
Berlatar belakang sejarah. Orang-orang kulit putih di Amerika Serikat
berprasangka negatif terhadap orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah
masa lampau, bahwa orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro
berstatus sebagai budak.
·
Dilatar-belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional. Harta
kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta itu didapat dari
usaha-usaha yang tidak halal. Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan
wewenang sebagai pejabat dan lain sebagainya.
·
Bersumber dari faktor kepribadian.
·
Berlatar belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama.
3. Usaha-Usaha Mengurangi atau Menghilangkan Prasangka dan Diskriminasi
·
Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
·
Perluasan kesempatan belajar.
·
Sikap terbuka dan sikap lapang.
4. Pengertian Etnosentrisme
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan
yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu
yang prima, terbaik, mutlak dan dipergunakan sebagai tolak ukur untuk menilai
dan membedakannya dengan kebudayaan lain. Etnosentrisme merupakan kecenderungan
tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak
ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku
berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
Akibatnya etnosentrisme penampilan yang
etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam
berkomunikasi.Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap dasar ideologi
Chauvinisme pernah dianut oleh orang-orang Jerman pada zaman Nazi Hitler.
Mereka merasa dirinya superior, lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, dan
memandang bangsa-bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista dsb.
C.
PERTENTANGAN SOSIAL ATAU KETEGANGAN DALAM
MASYARAKAT.
Konflik (pertentangan) mengandung suatu
pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang
dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dasar konflik
berbeda-beda. Terdapat 3 elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi
konflik yaitu :
·
Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau baigan-bagian yang terlibat di
dalam konflik.
·
Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap,
maupun gagasan-gagasan.
·
Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai
perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang
dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya,
misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang
paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu
masyarakat, yaitu :
·
Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya
pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan yang antagonistik
didalam diri seseorang.
·
Pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam
diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam
tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan norma-norma, motivasi-motivasi mereka untuk
menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
·
Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara
nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma
kelompok yang bersangkutan berbeda. Perbedan-perbedaan dalam nilai, tujuan dan
norma serta minat, disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan
sumber-sumber sosio-ekonomis didalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada
dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
·
Elimination yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam
konflik yang diungkapkan dengan : kami mengalah, kami mendongkol, kami keluar,
kami membentuk kelompok kami sendiri.
·
Subjugation atau domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai
kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya.
·
Mjority Rule artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan
menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi.
·
Minority Consent artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun
kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakat
untuk melakukan kegiatan bersama
·
Compromise artinya kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik
berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah.
·
Integration artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan,
dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan
yang memuaskan bagi semua pihak.
D.
GOLONGAN-GOLONGAN YANG BERBEDA DAN INTEGRASI
SOSIAL
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat
majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang
dipersatukan oleh kesatuan nasional yang berwujudkan Negara Indonesia.
Masyarakat majemuk dipersatukan oleh sistem nasional yang mengintegrasikannya
melalui jaringan-jaringan pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial.
Aspek-aspek dari kemasyarakatan tersebut, yaitu Suku Bangsa dan Kebudayaan,
Agama, Bahasa, Nasional Indonesia.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia
setelah merdeka adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi
bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan. Masyarakat majemuk tetap berada
pada kemajemukkannya, mereka dapat hidup serasi berdampingan (Bhineka Tunggal
Ika), berbeda-beda tetapi merupakan kesatuan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi
penghambat dalam integrasi:
·
Tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
·
Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar
warga negara Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
·
Agama, sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
·
Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota
golongan tertentu
Integrasi Sosial adalah merupakan proses
penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat menjadi satu kesatuan.
Unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan sosial,ras, etnik,
agama, bahasa, nilai, dan norma. Syarat terjadinya integrasi sosial antara
lain:
·
Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan
mereka
·
Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan bersama mengenai norma dan
nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman
·
Nilai dan norma berlaku lama dan tidak berubah serta dijalankan secara
konsisten.
Integrasi Internasional merupakan masalah
yang dialami semua negara di dunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahan
yang dihadapinya. Menghadapi masalah integritas sebenarnya tidak memiliki kunci
yang pasti karena latar belakang masalah yang dihadapi berbeda, sehingga
integrasi diselesaikan sesuai dengan kondisi negara yang bersangkutan, dapat
dengan jalan kekerasan atau strategi politik yang lebih lunak. Beberapa masalah
integrasi internasional, antara lain:
ü perbedaan ideologi
ü kondisi masyarakat yang majemuk
ü masalah teritorial daerah yang berjarak
cukup jauh
ü pertumbuhan partai politik
Adapun upaya-upaya yang dilakukan untuk
memperkecil atau menghilangkan kesenjangan-kesenjangan itu, antara lain:
·
Mempertebal keyakinan seluruh warga Negara Indonesia terhadap Ideologi
Nasional
·
Membuka isolasi antar berbagai kelompok etnis dan antar daerah/pulau dengan
membangun saran komunikasi, informasi, dan transformasi
·
Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
·
Membentuk jaringan asimilasi bagi kelompok etnis baik pribumi atau
keturunan asing.
E.
INTEGRASI NASIONAL
Integrasi Nasional adalah penyatuan bagian-bagian
yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh
atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu
bangsa. Selain itu dapat pula diartikan bahwa integrasi bangsa merupakan
kemampuan pemerintah yang semakin meningkat untuk menerapkan kekuasaannya di
seluruh wilayah (Mahfud MD, 1993: 71).
·
Integrasi tidak sama dengan pembauran atau asimilasi.
·
Integrasi diartikan integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme
sosial.
·
Pembauran dapat berarti asimilasi dan amalganasi.
·
Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan
mengenai berapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka, yang berbeda atau
bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras
(harmonis).
·
Melalui difusi (penyebaran), di mana-mana unsur kebudayaan baru diserap ke
dalam suatu kebudayaan yang berada dalam keadaan konflik dengan unsur
kebudayaan tradisional tertentu.
BAB IX
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
A.
ILMU PENGETAHUAN
Ilmu (atau ilmu
pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekedar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan
teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan
yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah
lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu
psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup
pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan
dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya
matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai
untuk menjadi perawat.
Sikap Ilmiah
Scientist atau Sikap
ilmiah dimana ilmuwan mempelajari gejala-gejala alam melalui observasi,
eksperimentasi dan analisis yang rasional. Ia menggunakan sikap-sikap tertentu
(Scientific attitudes). Sikap-sikap tersebut antara lain :
1.
Jujur
Seorang ilmuwan wajib
melaporakan hasil pengamatan secara objektif. Dalam kehidupan sehari-hari
mungkin saja ia tidak jujur dari manusia lain, tetapi dalam hal penelitian ia
harus sejujur-jujurnya dalam melaporkan penelitiannya.
2.
Terbuka
Seorang ilmuwan
mempunyai pandangan luas, terbuka dan bebas dari praduga. Ia tidak akan
meremehkan suatu gagasan baru. Ia akan menghargai setiap gagasan baru dan
mengujinya sebelum menerima/ menolaknya. Jadi ia terbuka akan pendapat orang lain.
3.
Toleran
Seorang ilmuwan tidak
merasa bahwa ia paling hebat. Ia bersedia mengakui bahwa orang lain mungkin
mempunyai pengetahuan yang lebih luas, atau mungkin saja pendapatnya bisa
salah. Dalam belajar menambah ilmu pengetahuan ia bersedia belajar dari orang
lain, membandingkan pendapatnya dengan pendapat orang lain, serta tidak
memaksakan suatu pendapat kepada orang lain.
4.
Skeptis
Ilmuwan dalam mencari
kebenaran akan bersikap hati-hati, meragui, dan skeptis. Ia akan menyalidiki bukti-bukti
yang melatarbelakangi suatu kesimpulan. Ia akan bersikap kritis untuk
memperoleh data yang menjadi dasar suatu kesimpulan tanpa didukung bukti-bukti
yang kuat.
5.
Optimis
Seorang ilmuwa selalu
berpengharapan baik. Ia tidak akan berkata bahwa sesuatu itu tidak dapat
dikerjakan, tetapi akan mengatakan “ Berikan saya kesempatan untuk memikirkan
dan mencoba mengerjakan “.
6.
Pemberani
Ilmuwan sebagai
pencari kebenaran harus berani melawan semua kesalahan, penipuan,
kepura-puraan, kemunafikan dan kebatilan yang akan menghambat kemajuan.
7.
Kreatif
Ilmuwan dalam
mengembangkan ilmunya harus selalu kreatif agar terlihat lebih menarik.
B.
TEKNOLOGI
Teknologi merupakan
satu konsep yang luas dan mempunyai lebih daripada satu takrifan. Takrifan yang
pertama ialah pembangunan dan penggunaan alatan, mesin, bahan dan proses untuk
menyelesaikan masalah manusia.
Istilah teknologi selalunya berkait rapat dengan
rekaan dan gadget menggunakan prinsip sains dan proses terkini. Namun, rekaan
lama seperti tayar masih menunjukkan teknologi.
Maksud yang kedua digunakan dalam bidang ekonomi, yang
mana teknologi dilihat sebagai tahap pengetahuan semasa dalam menggabungkan
sumber bagi menghasilkan produk yang dikehendaki. Oleh itu, teknologi akan berubah
apabila pengetahuan teknikal kita berubah.
Takrifan teknologi yang diguna pakai di
sekolah-sekolah dan institusi-insitusi pengajian tinggi di Malaysia ialah
aplikasi pengetahuan sains yang boleh memanfaatkan serta menyelesaikan masalah manusia
yang dihadapi dalam kehidupan seharian.
Ciri-ciri fenomena teknik pada masyarakat :
· Rasionalitas,
artinya tidakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan
dengan perhitungan rasional
· Artifisialitas,
artiya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
· Otomatisme,
artinya dalam hal metode, organisasi da rumusan dilaksanakan secara otomatis.
Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi
kegiatan teknis
· Teknik
berkembang pada suatu kebudayaan
· Monisme
artiya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
· Universalisme.
artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat
menguasai kebudayaan
· Otonomi,
artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip
Hubungan Ilmu dengan Nilai
Hidup
Penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan
mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan
teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan
keilmuan maupun penggunaan ilmu, yang berarti dalam pengembangannya harus
memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bersifat universal, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan kepentingan
generasi mendatang.
Tanggung jawab ilmu
menyangkut juga hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu dimasa lalu,
sekarang maupun akibatnya di masa mendatang, berdasarkan keputusan bebas
manusia dalam kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan nilai-nilai hidup baik alam maupun manusia. Hal ini
tentu menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan dalam
perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu
itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis
tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan
manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia seharusnya, baik
dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun
sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya.
Jadi perkembangan ilmu
akan mempengaruhi nili-nilai kehidupan manusia tergantung dari manusianya itu
sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam
kebudayaannya. Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaan manusia dalam arti
yang sesungguhnya, karena tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar
manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.
Mengapa Ilmu Tidak Dapat
Terpisahkan dengan Nilai-nilai Hidup
Ilmu dapat berkembang
dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak terpisahkan dalam
perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Walaupun ada anggapan bahwa ilmu
harus bebas nilai, yaitu dalam setiap kegiatan ilmiah selalu didasarkan pada
hakikat ilmu itu sendiri. Anggapan itu menyatakan bahwa ilmu menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri,
yaitu ilmu harus bebas dari pengandaian, pengaruh campur tangan politis,
ideologi, agama dan budaya, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu
terjamin, dan pertimbangan etis menghambat kemajuan ilmu.
Pada kenyataannya,
ilmu bebas nilai dan harus menjadi nilai yang relevan, dan dalam aktifitasnya
terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai hidup harus diimplikasikan
oleh bagian-bagian praktis ilmu jika praktiknya mengandung tujuan yang
rasional. Dapat dipahami bahwa mengingat di satu pihak objektifitas merupakan
ciri mutlak ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan
pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan
yang dibuatnya.
Setiap kegiatan
teoritis ilmu yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan
tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan yang
merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa yang merupakan kepentingan
ilmu sejarah dan hermeneutika, dan otoritas yang merupakan kepentingan ilmu
sosial.
Dengan bahasan diatas
menjawab pertanyaan mengapa ilmu tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
hidup. Ditegaskan pula bahwa dalam mempelajari ilmu seperti halnya filsafat,
ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup
manusia, yaitu:
1.
Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang
objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup
penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai
hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh
melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat
manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
2.
Pendekatan Epistemologi
Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas
tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran
pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan
proses yang memungkikan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.
Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup
manusia, dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan
untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa
mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan
argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai
kebenaran dan membenci kebohongan.
3.
Pendekatan Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan
untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu
harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu
dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian
atau keseimbangan alam. Untuk itu ilmu yang diperoleh dan disusun dipergunakan
secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang
menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras,
ideologi, atau agama.
C.
ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI
DAN NILAI
Ilmu pengetahuan dan
teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar perhatiannya
tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada
hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai
proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984). Ilmu
dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang
berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau kelompok.
Apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, merupakan hasil
penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya ilmu diperoleh
dari hasil metode keilmuwan yang diakui secara umum dan universal
sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak
mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori
lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat
meyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima kebenaran.
Istilah ilmu diatas,
berbeda dengan istilah pengetahuan. Ilmu adalah diperoleh melalui kegiatan
metode ilmiah (epistemologi) yang merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi ilmu terjamin dalam kegiatan metode ilmiah (èkegiatan
meyusun tubuh pengetahuan yang bersifat logis, penjabaran hipotesis dengan
deduksi dan verifikasi atau menguji kebenarannya secara faktual; sehingga
kegiatannya disingkat menjadi logis-hipotesis-verifikasi atau
deduksi-hipotesis-verifikasi).
Sedangkan pengetahuan
adalah pikiran atau pemahaman diluar atau tanpa kegiatan metode ilmiah,
sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada kenyataan
empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman berdasarkan akal
sehat (common sense) yang disertasi mencoba-coba, intuisi (pengetahuan yang
diperoleh tanpa pembalaran) dan wahyu (merupakan pengetahuan yang diberikan
Tuhan kepada para Nabi atau UtusanNya).
Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki 3 (tiga)
komponen penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya dimana ketiganya erat
kaitannya dengan nilai moral yaitu:
1)
Ontologis (Objek Formal Pengetahuan)
Ontologis dapat diartikan hakikat apa yang dikaji oleh
pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahannya.
2)
Epistemologis
Epistemologis seperti diuraikan diatas hanyalah
merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh
pengetahuan.
3)
Aksiologis
Aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan
atau fungsi dari ilmu pengetahuan.
Kaitan ilmu dan teknologi dengan nilai moral, berasal
dari ekses penerapan ilmu dan teknologi sendiri. Dalam hal ini sikap ilmuwan
dibagi menjadi dua golongan:
1.
Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi adalah
bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis,
soal penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan
untuk tujuan baik atau buruk. Golongan ini berasumsi bahwa kebenaran itu
dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai kemanusiaan lainnya
dikorbankan demi teknologi.
2.
Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi itu
bersifat netral hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam
penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asa moral atau
nilai-nilai. Golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui ekses-ekses
yang terjadi apabila ilmu dan teknologi disalahgunakan.
Nampaknya ilmuwan
golongan kedua yang patut kita masyarakatkan sikapnya sehingga ilmuwan terbebas
dari kecenderungan “pelacuran” dibidang ilmu dan teknologi dengan mengorbankan
nilai-nilai kemanusiaan.
D.
KEMISKINAN
Kemiskinan adalah
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman
utamanya mencakup:
· Gambaran
kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari,
sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
· Gambaran
tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan
tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
· Gambaran
tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di
sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh
dunia.
Ciri Kemiskinan
Apabila kita amati, mereka yang hidup dibawah garis
kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
· Mereka
umumnya tidak mempunyai factor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal
dan keterampilan.
· Mereka
tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan
sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan atau modal
usaha.
· Tingkat
pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat SD atau SLTP. Waktu mereka tersita
habis untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk belajar.
· Kebanyakan
mereka tinggal di pedesaan
· Kebanyakan
dari mereka yang hidup di kota, masih berusia muda dan tidak mempunyai
keterampilan yang mumpuni dan pendidikan yang layak untuk bersaing di kota.
Sehingga banyak dari mereka bekerja sebagai buruh kasar, pedagang musiman,
tukang becak, pembantu rumah tangga. Beberapa dari mereka bahkan jadi
pengangguran atau gelandangan.
Fungsi-fungsi Orang Miskin
Pertama : adalah menyediakan tenaga kerja untuk
pekerjaan kotor, tidak terhormat, berat, berbahaya, tetapi di bayar murah.
Kedua : kemiskinan adalah menambah atau memperpanjang
nilai guna barang atau jasa. Baju bekas yang sudah tidak terpakai dapat di jual
( atau dengan bangga di katakan ” di infakan ”)kepada orang-orang miskin.
Ketiga : kemiskinan adalah mensubsidi berbagai
kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya. Pegawai-pegawai kecil,
karena di bayar murah, petani tidak boleh menaikan harga beras mereka untuk mensubsidi
orang-orang kota.
Kempat : kemiskinan adalah menyediakan lapangan
kerja,bagaimana mungkin orang miskin memberikan lapangan kerja ? karena ada
orang miskin lahirlah pekerjaan tukang kredit ( barang atau uang )
aktivis-aktivis LSM ( yang menyalurkan dana dari badan-badan internasional
lewat para aktivis yang belum mendapatkan pekerjaan kantor ) belakangan kita
tahu bahwa tidak ada komunitas yang paling laku di jual oleh negara ketiga di
pasaran internasional selain kemiskinan.
Kelima : kemiskinan adalah memperteguh status sosial
orang-orang kaya, perhatikan jasa orang miskin pada perilaku orang-orang kaya
baru. Sopir yang menemaninya memberikan label bos kepadanya.Nyonya-nyonya dapat
menunjukan kekuasaannya dengan memerintah inem-inem mengurus rumah tangganya.
Tingkat Kemiskinan di
Indonesia
Presiden SBY dengan
penuh bangga memberitahu delegasi forum Rio+20 di Brazil bahwa Pemerintah RI berhasil menurunkan angka kemiskinan
dari 24% di tahun 1998 menjadi hanya 12.5% pada tahun ini.
Statistiknya jelas,
tidak ada yang keliru. Sumber datanya adalah Global Hunger Index
(GHI) yang menjadi acuan dunia internasional untuk mengukur jumlah penduduk
miskin suatu negara.
Tapi kalau kita
fokuskan ke rentang tahun 2004-2012, yaitu periode ketika SBY menjadi presiden,
ada sesuatu yang kurang beres.
Jumlah penduduk
miskin Indonesia di tahun 2003, setahun sebelum SBY didapuk menjadi presiden,
adalah 12,47 persen. Datanya bisa diklik disini
(hal. 98).
Setelah 8 tahun di bawah pemerintahan SBY, angka
kemiskinan tetap berada di angka 12.5 persen, ini artinya apa Bapak Presiden
SBY yang mulia?
Di tahun 2009 angka
kemiskinan Indonesia justru sempat melonjak ke angka 14.8 persen (data klik disini).
Bisa dimaklumi, mungkin akibat krisis ekonomi global tahun 2008.
Tetapi di tahun-tahun
pemerintahan SBY angka kemiskinan memang berada di sekitar angka 12 persen
dengan sedikit plus-minus. Tahun 2007 turun seupil menjadi 11.57 persen (data disini), tahun 2008 turun
lumayan ke angka 11.3 persen (data disini), tahun 2010 melompat ke angka
13.2 persen (data disini), dan tahun 2011
turun ke angka 12.2 persen (data disini).
Kalau dirata-rata,
angka kemiskinan kita selama 7 tahun sekitar 12%, tak beda jauh dengan ketika
Megawati masih menjadi presiden.
Dan untuk pengetahuan anda, 12 persen jumlah penduduk
miskin termasuk kategori SERIUS
dalam standar Global Hunger Index.
Mungkin sudah saatnya Pak SBY lebih menseriusi upaya
pengentasan kemiskinan ketimbang pusing memikirkan pendongkelan Anas
Urbaningrum.
BAB
X
AGAMA DAN
MASYARAKAT
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti “tradisi”. Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya
dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal
yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama
yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial,
argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan
kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai
pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat
bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama
yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan
sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana
pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan
masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh
dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada
hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama
adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan
kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya
solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive
dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau
tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama
yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
AGAMA DI INDONESIA
Enam agama besar yang paling banyak dianut
di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan
agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak
penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat
pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk
sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres)
No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama
yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti
agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di
Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan
agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang
diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia,
kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam
negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya
menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah
dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak
Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang
yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama
mayoritas.
CARA BERAGAMA
Berdasarkan cara beragamanya:
·
Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi.
Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari
angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada
minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
·
Formal, yaitu cara beragama berdasarkan
formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya
mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh.
Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika
berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah
bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya.
Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya
mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
1. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu
mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang
beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
2. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan)
dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran
agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari
ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang
teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau
Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh)
dengan itu semua.
A. FUNGSI AGAMA
Ada tiga aspek penting yang selalu
dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan,
sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial
terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul
pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga
agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat
mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut
timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi,
bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai
nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak
dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh
sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak,
berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai
penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai
konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan
dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat
apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga
memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar
dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia
hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi,
fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama
sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme
penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan
masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha
sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu
sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa
mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk
membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan
kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi
adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai
bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan
dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa
karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan
suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun
dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh
dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum
untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai
tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan
upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa
hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu,
untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen
agama. Menurut Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan
menjadi :
a. Dimensi keyakinan
mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut
pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran
tertentu.
b. Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan
suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d. Dimensi pengetahuan
dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan
memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari
komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan
citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah
masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan
efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang
bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan
yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan
tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran
agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi
mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan
yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan
masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu
mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional
apabila pengaruh agama sudah berkurang.
B.
PELEMBAGAAN AGAMA
Agama sangat universal, permanen, dan
mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit
memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama
adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan
pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil
atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat
diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954),
kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a. Masyarakat yang
Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan
terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan
mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama
menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
·
Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara
mutlak.
·
Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan
dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan
masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b. Mayarakat-masyarakat
Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam
tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular
masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara
tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan
penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang
sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam
tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan
agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
(transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah
keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak
rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya
memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu
selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan
meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan
untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman
kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan
menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure
kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah
mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama,
apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang
penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga
keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai
asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari
terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim
a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a,
Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa
kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah,
kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri,
dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam
untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu
tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari
surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan
dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu
peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail
a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat,
Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya.
Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir
dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak
tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan,
memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu,
dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa
dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah,
perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji.
Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan
oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan
tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda
Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim
dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang
peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh
Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan.
Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang
kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan
sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah
evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung
simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology
islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman
agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial
Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran
Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi
kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah,
Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan
dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga
keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan),
dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat
organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat
adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan
sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut
mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
C.
AGAMA, KONFLIK DAN MASYARAKAT
Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah
suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal
beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M.
Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi
berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian
yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia
menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi
mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang
mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas,
karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya
religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap
kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah)
memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau
demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di
Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu
sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada
pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam
UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari
negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan
nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan
politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan
yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian
menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan
dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah
dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan
kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan
beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan
analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis
sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat
masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan
baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan,
kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena
pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor
yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap
kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah)
memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau
demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di
Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga
kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada
pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam
UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari
negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan
nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan
politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan
yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian
menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial
bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.